Motivasi Indonesia

Motivasi Indonesia

Sabtu, Oktober 30, 2010

Jadilah Pribadi Pembelajar

“Pengetahuan itu lebih baik dari kekayaan. Anda harus menjaga kekayaan. Pengetahuan akan menjaga Anda”.

- Ali Ibn Abi Thalib –

Alkisah, suatu hari di sebuah lembaga pelelangan dunia dilakukan lelang otak manusia. Yang hadir mengikuti proses lelang adalah utusan dari beberapa negara di dunia, termasuk peserta dari Indonesia. Setelah semua peserta hadir, maka proses pelelangan otak dimulai. Hasil dari pelelangan itu ternyata otak orang Indonesia mendapatkan penawaran harga paling tinggi dibandingkan dengan otak dari beberapa orang negara maju lainnya. Tentu saja hal ini mengundang keheranan para peserta lelang dari beberapa negara lainnya.

Mengapa otak orang Indonesia mendapatkan penawaran harga paling tinggi? Ternyata setelah diselidiki alasannya adalah karena otak orang Indonesia dianggap masih paling mulus dibandingkan otak dari bangsa lain. Mengapa bisa demikian? Karena otak orang Indonesia dianggap jarang digunakan untuk berpikir, sedangkan otak orang negara maju sudah terlalu sering digunakan untuk berpikir.

Cerita di atas hanyalah sebuah anekdot atau kisah lelucon belaka. Tetapi hal ini bisa menjadi pelajaran bagi kita, karena memang realitasnya banyak di antara kita yang malas mendayagunakan kemampuan otaknya. Banyak di antara kita yang malas belajar mengasah kecerdasan akal pikirannya setelah selesai sekolah dibandingkan dengan mereka dari negara maju.

Contoh nyata adalah, ketika beberapa tahun lalu saya melakukan perjalanan ke Jepang bersama delegasi perwakilan pengusaha Indonesia mengikuti program undangan dari Asean Center di Tokyo misalnya, ketika naik kereta ataupun naik bus maka dengan mudah kita menemukan orang-orang yang asyik membaca buku di dalam kereta atau di dalam bus. Tetapi bandingkan dengan ketika kita naik kereta di Jakarta atau naik bus misalnya, yang kita temukan adalah orang-orang lebih suka mengobrol, menonton televisi, tertidur atau ngerumpi.

Kebanyakan orang menganggap bahwa tugas belajar menuntut ilmu sudah selesai setelah menyelesaikan pendidikan formal di sekolah atau universitas. Kemudian mereka sibuk dengan berbagai aktivitas pekerjaan dan kehidupan sehari-hari, mengabaikan aktivitas belajar meningkatkan kualitas dirinya. Mereka menganggap tidak perlu lagi belajar, membaca buku, mengikuti seminar atau training untuk mengembangkan kualitas kecerdasan emosional dan spiritualnya. Pandangan yang demikian tentu saja tidaklah benar dan hanya akan menciptakan penjara bagi kemampuan berpikir, membuat kungkungan terhadap pengembangan nilai diri. Seperti halnya dahan pohon yang tidak pernah diberikan makanan cukup, maka lama kelamaan dahannya mengering dan tidak akan menghasilkan buah yang ranum dan siap dipetik.

Seorang futuris terkenal Alvin Toffler, yang mengatakan bahwa "buta huruf di abad 21 bukanlah karena orang-orang yang tidak bisa membaca dan menulis, tetapi dikarenakan mereka yang tidak bisa belajar, tidak belajar, dan tidak mempelajari kembali." Maknanya, hidup kita sesungguhnya merupakan proses pembelajaran seumur hidup. Kapanpun, dimanapun dan dalam situasi apapun, setiap pribadi dituntut untuk terus melakukan pembelajaran, kalau tidak ingin semakin tertinggal. Dengan demikian belajar baik itu ilmu pengetahuan maupun ketrampilan memiliki peranan yang sangat penting dalam perjalanan kehidupan manusia.

Kehidupan sudah membuktikan bahwa orang-orang sukses dan meraih kemuliaan hidup adalah mereka yang senantiasa menyediakan diri untuk mendengar dan belajar mengasah ketajaman hati dan pikirannya disetiap kesempatan hidupnya. Mereka adalah pribadi pembelajar yang tiada henti belajar dan berlatih mengembangkan kualitas dirinya. Karena dengan belajar, akan membuka cakrawala pemikiran manusia menjangkau hal-hal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Kebiasaan ini dapat membentuk karakter manusia yang terus berkembang. Pengetahuan yang luas dan pengalaman yang banyak menjadikan manusia dapat memberikan kontribusi kebaikan yang lebih baik bagi dirinya dan bagi lingkungan sekelilingnya.

Pertanyaannya adalah, bagaimana dengan Anda ? Kapan dan dimanakah terakhir kali Anda meningkatkan kualitas ilmu pengetahuan, kecerdasan emosi dan spiritual Anda ? Apakah Anda menjadikan pembelajaran seumur hidup sebagai sebuah “personal mantra” untuk meningkatkan kualitas hidup lebih bermakna ? Bacalah dan temukan inspirasinya dalam buku ke-4 saya, “Life Balance Ways”, yang diterbitkan Elex Media Komputindo dan beredar di toko-toko GRAMEDIA seluruh Indonesia mulai 13 oktober 2010 ini.

“Keseimbangan adalah jalan menuju kesuksesan dan kebahagiaan hidup manusia. Bahkan tanpa keseimbangan alam semestapun niscaya akan binasa. Buku Life Balance Ways karya Eko Jalu Santoso ini menuntun pembaca untuk berada dalam jalan keseimbangan.”

Ary Ginanjar Agustian, Penulis Buku Best Seller ESQ dan ESQ Power

SEMOGA BERMANFAAT. SALAM MULIA.

Selasa, Oktober 19, 2010

Keseimbangan Being & Doing

“ Sibukanlah dirimu dalam berbagai aktivitas meraih prestasi kehidupan dunia, dengan tetap menyibukkan hatimu untuk Allah. Inilah prinsip keseimbangan.

Ilustrasi kisah ini bisa menjadi kendaraan pemahaman yang tepat untuk mengawali tulisan ini. Dikisahkan ada sekelompok orang yang berpendidikan baik dan bekerja cerdas dalam bidangnya. Penampilan merekapun terlihat rapi dan intelek. Mereka juga pandai membangun kerjasama yang baik dan saling mendukung satu dengan lainnya untuk tujuan keberhasilan pekerjaan mereka. Mereka juga bekerja sangat antusias, cekatan dan rapi dalam menuntaskan pekerjaannya. Solidaritas diantara mereka juga terlihat sangat tinggi. Dengan demikian selain memiliki kecerdasan intelektual, mereka terlihat juga memiliki kecerdasan emosional yang baik.

Secara professional, mereka dapat dikatakan sebagai orang-orang yang sukses. Memiliki jabatan, karier yang baik, popularitas dan berbagai simbul-simbul kesuksesan profesional lainnya. Bahkan secara material mereka memiliki kesuksesan yang mengagumkan, hanya dalam waktu singkat karier mereka, sudah berhasil meraih berbagai kekayaan harta, rumah mewah, mobil mewah dan simpanan bermilyar-milyar.

Namun, ternyata beberapa waktu kemudian saya membaca berita di berbagai media masa bahwa beberapa orang dari kelompok ini akhirnya harus berurusan dengan pihak berwajib dan bahkan sebagian sudah mendekam dipenjara. Mereka ternyata adalah orang-orang yang memiliki jabatan, tetapi bekerjasama menyalahgunakan jabatannya untuk melakukan tindakan korupsi yang merugikan uang rakyat, untuk kekayaan diri sendiri dan kelompoknya.

Inilah contoh hasil dari ketidakseimbangan hidup. Meskipun memiliki kecerdasan intelektual dan bahkan kecerdasan emosional yang baik, tetapi mereka tidak mengimbangi dengan kecerdasan spiritual. Saya menyebutnya mereka ini memiliki “kepincangan spiritualitas”. Meskipun memiliki bakat dan talenta yang baik, tetapi tidak memiliki karakter pribadi yang baik. Meskipun secara professional nampak sukses luar biasa, tetapi sesungguhnya kesuksesannya tidak bermakna dan berakhir dengan kesia-siaan dan kesengsaraan.

Para guru kehidupan senantiasa mengajarkan kepada kita pentingnya keseimbangan dalam berbagai aspek penting kehidupan, terutamanya dalam empat dimensi penting kehidupan yakni, fisik, sosial-emosional, intelektual-mind dan spiritual. Sayangnya banyak orang masih mengartikan spiritualitas keimanan secara sempit belaka. Nilai-nilai spiritualitas keimanan hanya didengungkan di tempat-tempat ibadah ketika menyembah Tuhan dan belum mempengaruhi perilaku dalam karier, bisnis dan kehidupan sehari-hari. Begitu keluar dari tempat ibadah dan berada di lingkungan kerja atau bisnis, nilai-nilai spiritual itu seolah-olah lenyap dan tidak muncul dalam perilakunya. Sehingga ketika berhubungan dengan orang lain, melupakan nilai spiritualitas yang tersalur lewat kehidupan sosial kemasyarakatan.

Padahal semakin baik aspek spiritualitas seseorang, semakin efektif mendukung aspek kehidupan yang lainnya. Semakin tinggi spiritualitas seseorang misalnya, akan mendorong kualitas tindakannya sesuai dengan nilai-nilai spiritualitas yang diyakininya. Berbagai tindakan dalam karier, bisnis dan aktivitas sosial misalnya, akan senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai spiritualitas dalam dirinya. Inilah jalan keseimbangan yang dapat mengantarkan manusia meraih kebahagiaan dan kemuliaan hidup.

Hidup secara keseluruhan memerlukan kepandaian untuk menyelaraskan beberapa aspek penting kehidupan. Disadari atau tidak kita selalu menggunakan setidaknya enam aspek penting kehidupan ini dalam setiap aktivitas sehari-hari, yakni: Aspek Spiritual, Aspek Fisik, Aspek Kepribadian, Aspek Financial, Aspek Keluarga, Aspek Sosial. Kepandaian kita dalam menyelaraskan enam aspek penting kehidupan ini akan menentukan kualitas kehidupan kita. Karenanya pahami dan temukan inspirasinya dalam buku ke-4 saya, “Life Balance Ways”, yang diterbitkan Elex Media Komputindo (bisa didapatkan di toko-toko Gramedia seluruh Indonesia mulai 13 Oktober 2010).

Dalam pandangan Prof. Roy Sembel Ph.D seorang penulis buku The Art of Best Win dan direktur PT Bursa Berjangka Jakarta, “Ada dua kutub ekstrim dalam menjalankan hidup: mengejar being—mengucilkan diri menjadi pertapa untuk merenungkan kehidupan—saja atau sekadar doing—tidak peduli perenungan, hanya sekadar menjalankan saja. Bila ingin menjadi signifikan—membawa nilai tambah bagi diri sendiri dan lingkungan Anda—kita perlu keseimbangan antara being dan doing. Buku Life Balance Ways karya Eko Jalu Santoso ini memberikan hasil perenungan dan pengalaman yang diramu secara menarik dan disampaikan secara komunikatif tentang keseimbangan antara being dan doing. Kombinasi seimbang antara gagasan filosofis dan tip praktis membuat buku ini enak dibaca dan bermanfaat.”

SEMOGA BERMANFAAT !

Salam Mulia.

Eko Jalu Santoso

***Sumber: Cuplikan buku Life Balance Ways, karya ke-4 Eko Jalu Santoso, diterbitkan Elex Media Komputindo. Bisa didapatkan di toko-toko buku GRAMEDIA seluruh Indonesia mulai 13 Oktober 2010.